Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Berita UtamaJakartaOpiniTerbaru

INKLUSIVISME ISLAM dan KEKUATAN “GELAP”

110
×

INKLUSIVISME ISLAM dan KEKUATAN “GELAP”

Sebarkan artikel ini
Foto Ahman Nurdin ( AN)
banner 325x300

Oleh : Ahman Nurdin

Tak bisa dipungkiri, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) bernafaskan Islam. Publik pun menilai PKS partai Islam. Yang perlu kita tegaskan, Islam PKS inklusif. Dalam bahasa agama, inklusivisme kita kenal rahmatan lil`alamin. Yakni, Islam yang memberikan rahmat bagi semua, tanpa membedakan warna kulit dan keyakinan. Juga, tidak membedakan perlakuan karena faktor beragam suku, bahkan entitas lainnya. Memperlakukan sikap “rahman” tidak hanya terhadap umat manusia. Tapi, seluruh ciptaan Allah diperlakukan dengan penuh kasih-sayang. Inilah jatidiri PKS, yang perlu ditransformasikan ke dalam nilai-nilai kehidupan dunia ini, termasuk dalam panggung politik dan pemerintahan.

Dalam perspektif dakwah, perlakuan rahmatan lil`alamin merupakan upaya merangkul semua pihak. Berupaya, seluruh pihak itu saudara. Dan memang, sebagai sesama manusia sejatinya bersaudara. Sikap ini akan mendorong antar-sesama saling memandang positif, saling menghormati. Maka, Islam yang rahmatan lil`alamin – secara teoritik – merancang suasana hormonitas dalam hubungan antar-manusia, bahkan lingkungan alam sebagai manifestasi mencintai ciptaan Allah.

Cukup menarik untuk merefleksikan spiritualitas rahmatan lil`alamin dalam hubungan antar-partai politik, yang – dalam konteks Indonesia ini – sedang mengarungi perhelatan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak. Sebagai konsekuensi kontestasi politik, maka perbedaan cara pandang dan sikap bagian dari kelaziman. Sunnatullah. Sebab, satu posisi dikehendaki berbagai elemen, mulai dari masyarakat pemilih. Juga, partai politik yang memang – menurut ketentuan UU Politik – merupakan kendaraan wajib yang akan mengantarkan kandidat ke pentas pilkada, kecuali berangkat dari perseorangan (independen).

Meski terdapat perbedaan, Islam melarang konflik, dalam stadium apapun, apalagi sampai ke level horisontal. Namun, kita dapat memahami jika sampai terjadi konflik itu. Alamiah. Yang perlu kita catat, janganlah sampai tingkat perbedaan itu menajam sampai ke tingkat puncak. Sebab, dampaknya pasti tak sehat bagi kepentingan hubungan antar-manusia, dalam jangka pendek ataupun panjang. Untuk itu, diperlukan sikap dewasa dalam mengarungi politik yang penuh warna perbedaan itu.

Namun demikian, Islam juga menggariskan bahwa setiap insan – apalagi dalam kaitan pilkada – diperlukan komitmen mencari sosok pemimpin yang memenuhi kriteria nubuwwah. Yaitu, kejujuran, amanah, cerdas, dan mampu bersikap transparan. Inilah kriteria yang harus diperjuangkan setiap pihak yang terlibat dalam pemilihan sosok pemimpin. Dan para pimpinan partai politik berkewajiban moral untuk membidik sosok pemimpin yang memenuhi kriteria nubuwwah itu. Kriteria itu jelas arahnya: mendorong sang pemimpin terpilih mampu memberikan pengabdian terbaiknya untuk rakyat.

Konsekuensinya, para elitis partai politik juga harus terpanggil untuk menghadang calon atau kekuatan manapun yang memaksakan calon pemimpin yang antagonis dengan kriteria ideal (nubuwwah) itu. Harus kita catat, antagonisitas itu pasti akan membawa malapetaka, tidak hanya bagi rakyat yang dipimpinnya. Tapi, juga membuat sejumlah kerusakan di muka bumi, dalam beragam sektor. Inilah komitmen politik Islam yang rahmatan lil`alamin dalam upaya menjaga entitas alam dan manusia sebagai makhluk Allah yang saling memberikan manfaat. Dan Allah sendiri pun perintahkan seluruh umat manusia untuk menjaga kelestarian alam (Q.S al-Baqarah : 205). Agar terjadi keseimbangan ekosistem yang justru memberikan manfaat besar bagi umat manusia.

Atas nama ketundukannya terhadap perintah-Nya, maka diperlukan sikap bersama antar jajaran partai politik untuk mengartikulasikan prinsip nilai-nilai kejujuran, amanah, cerdas dan tranparansi itu. Juga, menjadi panggilan bersama ketika muncul kekuatan “gelap”, yang – secara karakteristik – berseberangan dengan kriteria nubuwwah itu. Keterpanggilan ini haruslah menjadi kesadaran bersama seluruh elemen, apalagi para pimpinan partai. Meski beda partai, tapi dikedepankan komitmen pro kriteria nubuwwah itu.

Di sanalah kita akan saksikan, Islam inklusif (rahmatan lil`alamin) tak akan mempersoalkan perbedaan warna partai dalam membangun persekutuan atau aliansi strategis. Persekutuan ini menjadi krusial, karena menghadapi kekuatan “gelap”. Sejarah mencatat, kekuatan “gelap” – jika dimanage secara rapi dan terencana – akan mampu mengalahkan barisan pro prinsip nubuwwah itu. Yang dikhawatirkan bukan hanya posisi kalah dalam kontestasi pilkada, tapi dampaknya bagi kepentingan umat manusia dan wilayah. Kekuatan “gelap” – secara prinsip – pasti akan melakukan perusakan tatanan dan lingkungan. Akan terjadi ekspoiloitasi dan eksplorasi tanpa batas, tanpa mengindahkan reaksi alam dan umat manusia.

Atas nama keterpanggilan menjaga entitas kedaulatan NKRI dan seluruh rakyatnya, maka inklusivisme Islam perlu diterjamahkan dalam sikap politik akomodatif saat menghadapi perbedaan nafas ideologis partai. Sepanjang spiritualitasnya untuk mengejawantahkan nilai-nilai konstruktif keumatan (kebangsaan) dan kenegaraan atau wilayah, maka perbedaan tidaklah perlu dijadikan penghalang untuk membangun kebersatuan barisan ideologis pro NKRI sejati.

Komitmen idealistik ini pun harus dipahami oleh seluruh masyarakat luas sebagai bagian dari stake holder partai. Maka, janganlah bergeleng-geleng kepala, lalu bersikap resistensi ketika misalnya PKS bermesraan dengan PDIP dan PKB atau partai lainnya sepanjang tekadnya untuk menghadang barisan “gelap” itu. Agar jangan kalah langkah menghadapi kekuatan yang culas dan penuh rekadaya jahat. Negeri ini – melalui pilkada serentak – harus mampu menghadirkan sosok pemimpin yang berintegritas terhadap nusa dan bangsa. Sosok yang jujur dan amanah, agar segera keluar dari krisis multidimensi. Inilah panggilan suci bagi seluruh warga negara yang sungguh mencintai negeri kita: NKRI.

Jakarta, 28 Juni 2024
Penulis: anggota Dewan Pakar DPP PKS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *