JAKARTA,RELASIPUBLIK.COM-Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Prof Jimly Asshiddiqie mengaku geram menyaksikan perlakuan aparat kepolisian kepada tokoh Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat ditangkap karena dianggap menyebarkan informasi provokatif dan hoax di media sosial terkait UU Cipta Kerja (Ciptaker).Pasalnya, Syahganda Nainggolan dan Jumhur Hidayat beserta sejumlah aktivis KAMI lainnya ditampilkan dalam acara konferensi pers di Bareskrim Polri, Kamis 15 Oktober 2020 . Para aktivis KAMI tampak mengenakan baju tahanan berwarna oranye dengan tangan diborgol.
“Ditahan saja tidak pantas apalagi diborgol untuk kepentingan disiarluaskan,” cuit Jimly Asshiddiqie melalui akun Twitter pribadinya, @JimlyAs, Jumat 16 Oktober 2020.
Ditahan saja tdk pantas apalagi diborgol utk kepentingan disiarluaskan. Sbg pengayom warga, polisi hrsnya lebih bijaksana dlm menegakkan keadilan & kebenaran. Carilah orang jahat, bukan orang salah atau yg sekedar “salah”. https://t.co/KB86XgCCGf— Jimly Asshiddiqie (@JimlyAs) October 15, 2020.
Menanggapi haln tersebut, Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) Petrus Selestinus,S.H mengatakan, apa yang dilakukan oleh Kepolisian dalam hal ini Bareskrim Polri tersebut sudah tepat.
“Bareskrim Polri telah menjelaskan secara terbuka, bahwa pihaknya telah melakukan penangkapan, menjadikan tersangka dan menahan Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dan kawan-kawan. Karena berdasarkan bukti permulaan yang cukup, diduga terlibat tindak pidana menyebarkan berita bohong yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat,” kata pria yang dijuluki pengacara sepatu miring ini dalam keterangan tertulis diterima mediam ini Minggu (18/10/2020).
Menurutnya,langkah Bareskrim Polri mendapat dukungan secara luas dari publik.Karena Polri bertindak tepat, cepat dan tegas, tanpa pandang bulu terhadap Jumhur Hidayat, Syahganda Nainggolan dan kawan-kawan.
“Tentu langkah Bareskrim Polri ini sangat memuaskan publik seiring dengan tagline Polisi Promoter, yang secara pelan tapi pasti menampilkan kepolisian yang profesional, moderen dan terpercaya dalam menegakan hukum dan ketertiban umum,” urai Petrus Selestinus.
Diketahui, pada Kamis (15/10/2020) yang lalu, Bareskrim Polri menampilkan para tersangka dalam kenferensi pers dengan mengenakan rompi berwarna oranye dan tangan diborgol. Hal itu dilakukan karena Bareskrim Polri ingin akuntabel, equel dan transparan, dalam mewujudkan prinsip konstitusi yang semua warga negara bersamaan kedudukan dalam hukum.
Meskipun sikap Bareskrim Polri menampilkan Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat dkk mengenakan rompi oranye dalam keadaan tangan diborgol dalam jumpa pers tersebut sebagai bagian dari pemenuhan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tindakan kepolisian. Meski dikritik oleh beberapa pihak secara subyektif, sebagai perilaku yang tidak pantas dan meminta supaya diperlakukan kebijaksanaan khusus.
“Padahal seharusnya dipahami bawa hukum positif kita tidak memberikan privilage kepada siapapun, termasuk aktivis KAMI, ketika tersangkut tindak kriminal. Mengapa, karena di dalam pasal 27 UUD’45 dinyatakan bahwa, ‘semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dstnya’. Itu berarti tidak boleh ada diskriminasi kelas dalam penegakan hukum,” tegas Petrus Selestinus dalam keterangan tertulis di terima mediam ini, Minggu (18/10/2020).
Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) sangat menyayangkan pandangan Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, seorang guru besar hukum, mantan Ketua dan Hakim MK, serta Senator (Anggota Dewan Perwakilan Daerah) RI , yang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap penahanan, pemborgolan dan pengenaan baju rompi oranye terhadap Syahganda Nainggolan dan kawan-kawan karena dianggap sebagai tindakan tidak pantas dan meminta agar Bareskrim lebih bijaksana.
FAPP menilai, pandangan Jimly Asshiddiqie sangat tidak beralasan hukum bahkan merupakan langkah mundur, kembali ke anomali hukum.
“Ini jelas membahayakan ketertiban umum, jika ada kelas-kelas dalam penegakan hukum. Sikap Jimly Asshiddiqie tidak realistis, karena selama ini diskriminasi dalam penegakan hukum, lahir dari sikap bijaksana yang subyektif sehingga melahirkan perilaku KKN dan perilaku tidak adil dimana yang kuat menindas yang lemah dll,” sesal Petrus Selestinus.
Lanjutnya, ketika Polri bertindak benar, tepat dan tegas, maka sikap demikian meskipun tidak populer harus didukung.
“Bukan sebaliknya menuntut langkah bijaksana hanya atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan cita-cita dan orientasi politik, lantas penegakan hukum yang sudah tepat, minta disubstitusi dengan tindakan yang bijaksana. Inilah yang tidak perlu dan harus diamputasi, karena tidak sesuai denga tuntutan rasa keadilan publik,” tegasnya.
Polisi Promoter dan Legitimasi
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) Petrus Selestinus,SH, sekarang ini Polri secara perlahan tapi pasti, dengan tagline “Polisi Promoter “berusaha keras untuk bersikap independen, netral dan tidak mau terjebak dalam perilaku diskriminasi. Polri tak (ingin) memberikan keistimewaan kepada tersangka tertentu hanya karena ketokohan atau aktivis politik, lalu setiap tindak kriminal yang dilakukan aktivis yang bersangkutan digeneralisir sebgai tindak pidana politik.
“Karena itu publik harus dukung kerja keras Bareskrim Polri, supaya legitimasi Polri dalam menegakan prinsip Polisi Promoter dan prinsip Penegakan Hukum dan Ketertiban untuk menyelematkan kepentingan umum yang lebih besar. OLeh karena itu maka, dukungan rakyat menjadi modal utama dalam memberi legitimasi kepada Polri dalam menegakan hukum,” jelas tutup Petrus Selestinus. ** (Rls).