Scroll untuk baca artikel
Example 325x300
Example floating
Example floating
Example 728x250
Opini

PP Pelaksanaan Tindakan Kebiri Benarkah Dapat Terealisasi,atau Buaian di atas Luka?

41
×

PP Pelaksanaan Tindakan Kebiri Benarkah Dapat Terealisasi,atau Buaian di atas Luka?

Sebarkan artikel ini
Nur Setia Alam Prawiranegara, S.H., M.Kn, Praktisi Hukum dan Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC) /Foto:dok/Istimewa
banner 325x300

Oleh : Nur Setia Alam Prawiranegara , S.H.,M.Kn, Ketua Indonesian Feminist Lawyers Club (IFLC)

Kekerasan Seksual terhadap Anak kian meningkat setiap tahunnya terutama saat masa pandemi Covid pada tahun lalu, 2020. Data empiris mengenai perilaku abnormal tersebut belum diketahui secara pasti, apakah benar karena hasrat seksual nya berlebihan sehingga tidak mampu menguasai untuk tidak melakukan perbuatan atau hal lainnya seperti pengaruh berkembangnya teknologi sehingga menimbulkan hasrat seksual yang tidak normal, salah pergaulan atau hal lainnya.

IFLC menghargai atas kinerja Pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak, walaupun ada beberapa hal yang sebaiknya menjadi pertimbangan kembali apakah layak dan benar dapat teralisasi atau buaian diatas luka bagi para Korban semata.

Berdasarkan telaahan kami, isi Peraturan Pemerintah terkesan terburu-buru menjadi suatu peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden dalam menjalankan isi UU untuk perlindungan Anak, dapat terlihat dari:

1. Pasal 1 angka (2) tentang Tindakan Kebiri Kimia karena Intinya adalah Tindakan kebiri kimia akan dilaksanakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak untuk menekan hasrat seksual berlebih yang disertai rehabilitasi.
Saat melihat penjelasannya ternyata “Cukup jelas”, padahal seharusnya bisa memberikan penjelasan antara lain:

a. Kategori Pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak tersebut ada disebutkan dalam amar Putusannya harus menjalankan Tindakan Kebiri Kimia, atau sama saja baik yang ada isi amar putusannya tentang hal tersebut atau tidak;

b. Bukankan untuk Tindakan Kebiri Kimia harus menjalani proses penilaian klinis dan lainnya, bagaimana hakim bisa menentukan putusan untuk diputus Tindakan Kebiri Kimia?

c. Apakah tidak akan terjadi perbuatan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang berupa grativikasi dll, agar tidak menjalankan Tindakan Kebiri walaupun ada 4 (empat) instansi yang mengawasi, siapa yang mengawasi ke 4 (empat) instansi tersebut.

2. Bab II Pasal 2 mengenai Tindakan dilakukan berdasarkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam PP maupun penjelasannya tidak diberikan keterangan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap yang amar putusannya ada mengenai Eksekusi Tindakan Kebiri Kimia atau tidak.

3. Pasal 3 disebutkan yang melakukan tindakan kebiri adalah Petugas yang memiliki kompetensi di bidangnya, apakah bisa saja bukan dokter yang melakukanya, berbeda dengan yang disebutkan pada Pasal 9 huruf b bahwa Jaksa memerintahkan dokter untuk melakukan tindakan. Jika ada perbedaaan pemahaman bagaimana jika terjadi malpraktek atau gagal proses tindakan kebiri kimia dan mengakibatkan hal negatif lainnya.

4. Pasal 5 mengenai Jangka Waktu paling lama 2 (dua) tahun siapa yang menentukan, bagaimana jika ternyata majelis hakim tidak menuliskan jangka waktunya.

5. Masih pasal 9 bagaimana jika jaksa lalai tidak memberitahukan korban dan keluarga korban serta bagaimana dengan keluarga pelaku apakah diberitahukan atau tidak, disini tidak dijelaskan secara rinci.

6. Pasal 10, dalam hal ternyata pelaku tidak layak untuk dilakukan Tindakan kebiri, dimana jaksa memberitahukan secara tertulis kepada Pengadilan. Dalam hal ini apakah Pegadilan akan mengeluarkan penetapan atau cukup menerima pemberitahuan.
Bagaimana jika proses ini menjadi pembuka jalan terjadinya grativikasi atau korupsi agar dinyatakan tidak layak sehingga tidak dikebiri oleh Petugas yang berwenang.

7. Pasal 20 dinyatakan bahwa akan ada Peraturan Menteri untuk rehabilitasi sosial, bagaimana jika peraturan menteri itu belum ada atau telah ada tetapi isinya bertentangan?

8. Pasal 23 mengenai pendanaan, bersumber dari APBN, APBD atau sumber lainyang sah dan tidak mengikat, ternyata tidak diperjelas secara rinci, apakah memang telah ada alokasinya atau belum, kemudian sumber yang sah dan tidak mengikat tidak dijelaskan dalam bentuk apa, sehingga nisa timbul pemyelewengan atas dana untuk melakukan tindakan.

9. Pasal 24 mengenai masalah pengawasan diserahkan kepada kewenangan masing-masing, apakah dapat hasil yang maksimal, apalagi pelaksanaan tindakan tersebut akan tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

Dengan adanya beberapa hal yang seharusnya dapat diperjelas secara rinci dari peraturan pemerintah yang sebenarnya masih harus dikaji apakah perlu didahulukan keluar peraturan tersebut, dibandingkan bagaimana proses perlindungan dan pemulihan bagi korban kekerasan seksual baik fisik maupun psikis karena mengalami trauma. Bahwa ada hal paling signifikan yang harus menjadi pertimbangan kembali apakah layak dan benar dapat teralisasi atau sekedar buaian diatas luka bagi para Korban semata.

IFLC berharap Pemerintah segera mengeluarkan peraturan untuk memberikan perlindungan secara maksimal kepada Korban agar adanya pemulihan baik fisik maupun psikis termasuk dan tidak terbatas adanya restitusi jika pelaku tidak mampu melakukan proses tersebut, sehingga hal itu seharusnya menjadi serta merta tanggung jawab pemerintah.

Oleh karena itu jika APABN dan APBD maupun sumber lain yang sah dan tidak mengikat ternyata terbatas, sesungguhnya alangkah lebih baik diberikan kepada Korban untuk memberikan manfaat dan rasa Keadilan. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *